Pesan Dari Wae Rebo
Desa Wae Rebo, orang membangun kembali rumah adat mereka yang berbentuk kerucut—setelah entah berapa lama hanya empat yang tertinggal dari tujuh yang pernah berdiri, setelah pohon kayu worok tak mudah lagi didapat untuk bahan tiang utama,
|
Sebagai arsitek kita harus lebih banyak mempelajari “Ilmu Rasa”. Memberikan ‘perasaan’ kepada karya-karya kita, ataupun menyertakan ‘perasaan’ pada setiap pengamatan arsitektural kita, akan menghasilkan karya arsitektur yang ‘dekat’ dengan diri kita.
Tanpa perasaan tadi, kita hanya akan memproduksi mesin, mesin rumah, mesing gedung, dan lain-lain yang hanya memberikan gap antara kita dengan lingkungan, antara kita dengan kota, antara kita dengan rumah kita. Arsitektur tradisional (dengan nilai-nilai di dalamnya) akan tetap lestari, apabila ada kepedulian dari diri kita, yang tidak lain kepedulian tersebut datang karena ada kepekaan, ada perasaan.
Modernisasi tidak bisa kita sangkal. Modernisasi dapat kita sikapi dengan mencari jawaban tentang bagaimana modern versi kita sendiri. Rumah tradisional bukannya tidak modern, pada masanya di saat langgam arsitektur itu hadir bangunan tradisional itu adalah termasuk modern. Sehingga bagaimana arsitek-arsitek yang sekarang dapat menyesuaikan lagi kearifan pada waktu dulu menjadi sebentuk ‘ke-tradisional-an’ yang modern.
“ Neka hemong kuni agu kalo “ adalah sebuah ungkapan yang telah mendarah daging bagi Wae Rebo yang mengarah pada Wae Rebo sebagai tanah kelahiran atau tanah pusaka atau tanah tumpah darah yang tidak terlupakan. Ungkapan ini menjadi semangat yang terampuh membuat masyarakat Wae Rebo tetap melestarikan kampung itu sejak leluhur perdana, generasi sekarang dan selamanya.
LETAK GEOGRAFIS
Wae Rebo terletak di desa Satar Lenda , Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Hawanya cukup dingin, berada di ketinggian C. a. 1100 m di atas permukaan air laut. Kampung Wae Rebo diapiti oleh gunung, hutan lebat dan berada jauh dari kampung – kampung tetangga. Kampung Wae Rebo dikukuhkan oleh Enklave sejak masa penjajahan Belanda.
|
Rumah adat Wae Rebo lebih dikenal dengan sebutan “ Mbaru Niang “ ( rumah bundar berbentuk kerucut ). Mbaru niang terdiri dari 5 tingkat dan masing – masing tingkat mempunyai fungsi sendiri. Tingkat pertama adalah “ Lutur “ ( tenda ) yang akan ditempati oleh masyarakat. Tingkat kedua adalah “ Lobo “ ( loteng ), berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang – barang lainnya. Tingkat ketiga adalah “ Lentar “ untuk menyimpan benih – benih seperti jagung, padi dan kacang – kacangan, dll. Tingakt keempat adalah “ Lempa Rae “ sebagai stok makanan cadangan. Makanan cadangan ini digunakan ketika terjadi gagal panen atau musim kemarau berkepanjangan. Tingkat kelima adalah “ Hekang Kode “ digunakan untuk menyimpan langkar ( berupa anyaman dari bambu berbentuk persegi guna menyimpan sesajian buat leluhur ).
Jadi kesimpulannya, mayarakat Wae Rebo menyadari bahwa untuk tetap existnya adat dan budaya Wae Rebo sangat bergantung pada masyarakat itu sendiri. Adat dan budaya adalah modal besar untuk peningkatan perekonomian rakyat itu sendiri. Melestarikan adat dan budaya berarti juga akan memperbaiki perekonomian rakyat yang bermuara pada kesejahteraan hidup bersama. Untuk mencapai Wae Rebo hanya melalui pertualangan. Bukan Wae Rebo tanpa tantangan berat. ” Wae Rebo hanya ada di Wae Rebo “. Ada semboyan warga : “ MOHE WAE REBO “ artinya hidup Wae Rebo.
koc sepi nih...
BalasHapusarsiteknyaa.....
hahahahaa